30 Desember 2008

Ibu

IBU PDF Print E-mail


Tahun yang lalu, ketika ibu saya berkunjung, ia mengajak saya untuk berbelanja bersamanya karena dia membutuhkan sebuah gaun yang baru. Saya sebenarnya tidak suka pergi berbelanja bersama dengan orang lain, dan saya bukanlah orang yang sabar, tetapi walaupun demikian kami berangkat juga ke pusat perbelanjaan tersebut. Kami mengunjungi setiap toko yang menyediakan gaun wanita, dan ibu saya mencoba gaun demi gaun dan mengembalikan semuanya. Seiring hari yang berlalu, saya mulai lelah dan ibu saya mulai frustasi.

Akhirnya pada toko terakhir yang kami kunjungi, ibu saya mencoba satu stel gaun biru yang cantik terdiri dari tiga helai. Pada blusnya terdapat sejenis tali di bagian tepi lehernya, dan karena ketidaksabaran saya, maka untuk kali ini saya ikut masuk dan berdiri bersama ibu saya dalam ruang ganti pakaian, saya melihat bagaimana ia mencoba pakaian tersebut, dan dengan susah mencoba untuk mengikat talinya. Ternyata tangan-tangannya sudah mulai dilumpuhkan oleh penyakit radang sendi dan sebab itu dia tidak dapat melakukannya, seketika ketidaksabaran saya digantikan oleh suatu rasa kasihan yang dalam kepadanya. Saya berbalik pergi dan mencoba menyembunyikan air mata yang keluar tanpa saya sadari. Setelah saya mendapatkan ketenangan lagi, saya kembali masuk ke kamar ganti untuk mengikatkan tali gaun tersebut. Pakaian ini begitu indah, dan dia membelinya.

Perjalanan belanja kami telah berakhir, tetapi kejadian tersebut terukir dan tidak dapat terlupakan dari ingatan saya. Sepanjang sisa hari itu, pikiran saya tetap saja kembali pada saat berada di dalam ruang ganti pakaian tersebut dan terbayang tangan ibu saya yang sedang berusaha mengikat tali blusnya. Kedua tangan yang penuh dengan kasih, yang pernah menyuapi saya, memandikan saya, memakaikan baju, membelai dan memeluk saya, dan terlebih dari semuanya, berdoa untuk saya, sekarang tangan itu telah menyentuh hati saya dengan cara yang paling membekas dalam hati saya. Kemudian pada sore harinya, saya pergi ke kamar ibu saya, mengambil tangannya, menciumnya ... dan yang membuatnya terkejut, memberitahukannya bahwa bagi saya kedua tangan tersebut adalah tangan yang paling indah di dunia ini. Saya sangat bersyukur bahwa Tuhan telah membuat saya dapat melihat dengan mata baru, betapa bernilai dan berharganya kasih sayang yang penuh pengorbanan dari seorang ibu. Saya hanya dapat berdoa bahwa suatu hari kelak tangan saya dan hati saya akan memiliki keindahannya tersendiri.

Dunia ini memiliki banyak keajaiban, segala ciptaan Tuhan yang begitu agung, tetapi tak satu pun yang dapat menandingi keindahan tangan Ibu... With Love to All Mother

Note :
Berbahagialah yang masih memiliki Ibu. Dan lakukanlah yang terbaik untuknya...........

Sumber: unknown

19 Desember 2008

Tak Senilai Sayap Nyamuk

18/2/2008 | 09 Safar 1429 H | Hits: 2.043

Tak Senilai Sayap Nyamuk

Oleh: Muhammad Nuh

dakwatuna.com - “Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakanmu, dan jangan (pula) penipu (setan) memperdayakanmu dalam (mentaati) Allah.” (QS. Luqman: 33)

Dunia memang indah. Warna-warni alamnya teramat sulit dilukiskan dengan kata-kata. Hiasan-hiasannya bagaikan magnet yang mampu menarik siapa pun di sekelilingnya. Pesonanya bisa memukau mata manusia mana pun yang menatapnya dengan penuh harap. Mereka pun berkhayal, andai dunia tak pernah berpisah.

Kenikmatan yang berlimpah kadang bisa lebih berbahaya dari musibah terburuk apa pun. Seorang hamba Allah mungkin bisa bertahan dengan siksaan dan penjara. Tapi, belum tentu ia mulus dengan cobaan banyaknya harta. Berbahagialah hamba Allah yang kaya dan senantiasa bersyukur.

Jangan pernah bergeser dari niat yang ikhlas

Ikhlas adalah dasar diterima atau tidaknya sebuah amal. Apalah arti sebuah prestasi jika Allah swt. tidak menganggapnya sebagai sebuah bakti. Mungkin, manusia bisa tertipu dengan hiasan-hiasan amal yang ditampilkan. Tapi, Allah Maha Tahu apa yang tersembunyi di balik hati seorang hamba. Sekecil apa pun.

Keanggunan hiasan dunia kadang membuat hati manusia tertipu, terpedaya. Buat siapa pun, termasuk hamba Allah yang giat beramal. Bahkan, seorang sahabat Rasul sekali pun. Kisah kurang amanahnya pasukan pemanah pimpinan Abu Ubaidah pada Perang Uhud memberikan pelajaran tersendiri. Mereka siap menempuh bahaya seganas apa pun. Tapi, tak sesiap itu ketika menatap lambaian ghanimah. Kenikmatan dunia memperdaya mereka, merontokkan komitmen mereka terhadap perintah Rasul: “Apa pun yang terjadi, kalian harus tetap di bukit ini!”

Tidak heran, jika Allah swt. mengajarkan Thalut untuk menguji kesetiaan pasukannya dengan sungai. Buat kondisi jazirah Arab yang panas, sungai merupakan perwujudan standar dari bentuk kenikmatan dunia: menggiurkan di saat dahaga, menyejukkan di saat panas terik membakar. Kalau pada takaran standar saja mereka rontok, apatah lagi dengan kenikmatan yang lebih besar. Dan peperangan yang akan mereka hadapi bukan sekadar menumbangkan Jalut, tapi mengendalikan diri dari hamparan kenikmatan yang dimiliki Jalut. Mampukah?

Amru bin Ash r.a. di saat menghadapi akhir hayatnya pun menyadari. Betapa ia yang pernah berjuang bersama Rasulullah saw., menghunus pedang untuk membantai musuh-musuh Islam dengan pengorbanan yang tidak kecil, pun akhirnya bisa terpedaya dengan nikmatnya kekuasaan. Sebuah bagian dari kenikmatan dunia yang belum seberapa.

Tidak ada yang mampu mengawasi jati diri seorang hamba kecuali Allah dan dirinya sendiri. Dirinyalah yang tahu, apakah niatnya masih lurus. Atau, sudah bergeser. Dan kelak, ia akan menuai amal yang pernah ia tanam. Bagus atau buruk.

Biasakan untuk senantiasa memberi, bukan sebaliknya

Manusia memang tak bisa lepas dari tarikan dunia. Karena, sebagian dirinya berasal dari unsur tanah yang berarti bagian dari wujud dunia. Ia butuh makan, minum, tempat tinggal, pasangan, keluarga, status sosial, dan sebagainya. Tinggal, bagaimana ia mengelola keakrabannya dengan dunia.

Orang yang akrab dengan sesuatu biasanya akan cinta. Dan cinta menjadikan seseorang sulit dipisahkan dengan yang dicintai. Karena itu, sebelum seseorang terlanjur mencintai dunia, ia harus melatih diri untuk secara rutin berpisah. Biar kecil, tapi rutin.

Di situlah mungkin, di antara hikmah Allah swt. mewajibkan infak buat orang-orang yang beriman. Tak ada keuntungan sedikit pun buat Allah. Karena, tak satu pun benda di alam ini melainkan dari-Nya. Semua manfaat itu akan kembali kepada manusia itu sendiri.

Sekilas, memberi terasa merugikan. Karena, ada bagian kepemilikannya yang dikorbankan buat orang lain. Tapi, justru di situlah seorang yang mudah memberi akan merasakan manfaat. Selain menyeimbangkan keakrabannya dengan dunia, memberi adalah bentuk investasi lain buat kepemilikan yang lebih berharga dari materi yang ia korbankan. Selain balasan dari Allah, ia akan mendapatkan nilai sosial lebih. Harga sosialnya akan semakin mahal, tanpa ia sadari.

Allah swt. berfirman, “Ada pun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (QS. Al-Lail: 5-7)

Turunan dari memberi begitu banyak. Rasulullah saw. sering menganjurkan kita untuk bersedekah, memberi hadiah, menolong orang yang kesulitan dana, mengurus anak yatim, dan lain-lain. Karena itu, bersikaplah untuk senantiasa siap memberi buat orang lain. Bukan, berharap-harap apa yang mesti orang lain berikan kepada kita.

Jadilah seperti seorang penjual, bukan pembeli

Perbedaan mendasar antara seorang penjual dengan pembeli adalah sikap mental. Seorang penjual punya sikap pelayanan. Dan pembeli punya sikap memilih-milih, tidak merasa perlu. Apa pun yang dituntut pembeli, penjual akan menyesuaikan diri. Bahkan, ia harus siap dicela, dimarahi pembeli, tanpa memperlihatkan reaksi ketidaksukaan. Apalagi perlawanan. Dan, manajemen moderen membenarkan itu.

Begitu pun dalam beramal. Kehidupan seorang hamba Allah di dunia ini tak lain adalah seorang penjual. Dan Allahlah Si Pembeli. Pembeli bisa menentukan kriteria apa saja atas barang yang dibeli. Dan penjual wajib memenuhi, jika dagangannya mau terjual.

Allah swt. berfirman dalam surah At-Taubah ayat 111, “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Alquran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka, bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.”

Tak ada satu penjual pun yang santai-santai saja menyambut tawaran harga tinggi dari seorang pembeli. Dan harga apalagi yang lebih tinggi dari surga yang penuh kenikmatan. Dan satu lagi. Tak ada penjual yang sedemikian cintanya dengan dagangannya sehingga ia tak akan pernah menjual. Teramat bodoh seorang penjual yang bersikap, “Biarlah saya tak untung, yang penting barang dagangan yang saya cintai tak terjual!” Saat itu, ia bukan lagi seorang penjual. Tapi, penikmat.

Seorang hamba Allah yang cerdas tak akan terpedaya dengan dunia. Seindah apa pun, ia tampil. Segemerlap apa pun dunia bersolek. Karena dalam pandangan Allah, dunia tak senilai saya nyamuk. Rasulullah saw. bersabda, “Andaikan dunia itu senilai dengan sayap nyamuk di sisi Allah, maka Allah tidak akan memberi minum kepada orang kafir walaupun seteguk air dari dunia.” (HR. Tirmidzi)